Suatu masyarakat yang demokratis tentunya memerlukan
berbagai praksis pendidikan menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis.
Masyarakat yang tertutp, yang sentralistik, yang mematikan inisiatif berfikir
manusia bukanlah merupakan pendidikan yang kita inginkan (Tilaar, 2000). Pada
dasarnya paradigma pendidikan nasional yang baru harus dapat mengembangkan
tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global. Paradigma tersebut
haruslah mengarah kepada lahirnya suatu bangsa Indonesi yang bersatu serta
demokratis. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik baik
di dalam manajemen maupun di dalam penyusunan kurikulum harus diubah dan
disesuaikan kepada tuntutan pendidikan yang demokratis, demikian pula di dalam
menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatis, maka proses
pendidikan haruslah mampu mengembangkan kemampuan untuk berkompetisi di dalam
kerjasama, mengembangkan sikap inovatif dan ingin selalu meningkatkan kualitas
(Tilaar, 2000).
Perubahan paradigma pendidikan yang terjadi saat ini
adalah merupakan akibat dari terjadinya perubahan sosial sebagaimana sifatnya
yang abadi, akan selalu terjadi dan pasti terjadi. Perubahan itu akan
memberikan pengaruh yang kuta terhadap iklim organisasi, gaya kepemimpinan dan
hakikat kehidupan organisasi (Benis, 1966 dalam Aan dan Cepi, 2004).
Salah satu perubahan yang mendasar dalam organisasi
pendidikan adalah sistem manajemen sentralistis yang berubah menjadi sistem
manajemen desentralisasi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Hal ini menuntut perubahan berbagai komponen dalam
organisasi dan juga gaya kepemimpinan. Artinya, dalam situasi yang tidak menentu,
penuh dengan perubahan dan ketidakpastian diperlukan keahlian manajerial yang
baik, sekaligus dapat mengembangkan keahliannya dalam bidang kepemimpinan (Aan
dan Cepi, 2004).
Untuk mengahadapi beragam tantangan kepemimpinan
yang muncul, maka harus dipahami terlebih dahulu mengenai konsep pemimpin dan
kepemimpinan, peran dan tantangan seorang pemimpin, serta kompetensi-kompetensi
yang harus dimiliki oleh pemimpin masa kini. Sehingga kedepannya,
pemimpin-pemimpin lembaga yang berada dalam dunia pendidikan, dapat menghadapi
tantangan dan meningkatkan kualitas pendidikan pada lembaga yang dipimpinnya.
A. Pemimpin dan Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses dua pihak, dua arah
artinya, satu pihak harus mengetahui cara memimpin, dan pihak lain harus
mengetahui cara mengikuti. Tetapi dalam pelaksanaannya, tidak ada
hal-hal seperti pemimpin “murni” dan pengikut “murni”. Setiap pihak
adalah pemimpin dan pengikut pada waktu bersamaan, dan kedua belah pihak
memikul tanggung jawab untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan
(Timpe, 2002).Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok
untuk pencapaian tujuan. Bentuk pengaruh tersebut dapat secara formal seperti
tingkat manajerial pada suatu organisasi (Robins, 2002).
Menurut sejarahnya, istilah kepemimpinan (leadership)
baru muncul sekitar tahun 1800, definisi leadership bermacam-macam
sesuai dengan selera pembuat definisi itu sendiri, dari mana mereka
memandang. Meskipun demikian, masih dapat ditarik suatu garis yang sama
dari definisi-definisi yang dibuat.
Berbagai sudut pandang para pembuat definisi
kepemimpinan itu adalah sebagai berikut: 1) titik tumpu proses kelompok,
2) kepribadian dan pengaruh, 3) seni dalam melaksanakan pekerjaan, 4)
tindakan mempengaruhi orang lain, 5) perbuatan atau sikap seseorang, 6)
bentuk persuasi dalam menggerakkan orang, 7) alat pencapaian tujuan, 8)
pengaruh daripada interaksi, 9) peranan yang menonjol, 10) proses dari
peranan yang orisinil (Martoyo, 1996). Dari penjelasan di atas, Martoyo
mendefinisikan kepemimpinan sebagai berikut: ”keseluruhan aktivitas
dalam rangka mempengaruhi orang-orang agar mau bekerja sama untuk mencapai
tujuan yang memang diinginkan bersama”.
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi
suatu kelompok untuk pencapaian tujuan. Bentuk pengaruh tersebut dapat
secara formal seperti tingkat manajerial pada suatu organisasi (Robins,
2002). Definisi kepemimpinan seperti diungkapkan di atas, berimplikasi
pada tiga hal utama seperti dikemukakan di bawah ini (Locke, 1997):
a.
Kepemimpinan
menyangkut “orang lain”, bawahan atau pengikut.
Kesediaan
mereka untuk menerima pengarahan dari pemimpin. Jika tidak ada pengikut,
maka tidak akan ada pula pemimpin. Tanpa bawahan semua kualitas
kepemimpinan seorang atasan akan menjadi tidak relevan. Terkandung makna
bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana
membangkitkan inspirasi dan menjalin relasi dengan pengikut mereka.
b.
Kepemimpinan
merupakan suatu ”proses”.
Agar
bisa memimpin, seorang pemimpin harus melakukan sesuatu, kepemimpinan lebih
dari sekedar menduduki suatu posisi otoritas. Kendatipun posisi otoritas
yang dikonformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, tetapi
sekadar menduduki posisi itu tidak memadai untuk membuat seseorang menjadi
pemimpin.
c.
Kepemimpinan
harus ”membujuk” orang lain untuk mengambil tindakan.
Pemimpin
membujuk para pengikutnya lewat berbagai cara seperti menggunakan
otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan),
penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi
organisasi dan mengkomunikasikan sebuah visi.
Proses sekolah dalam dimensi kepemimpinan adalah
menghasilkan keputusan kelembagaan yang terjadi sebagai keputusan
partisipatif atau keputusan bersama antara kepala sekolah, guru, siswa,
orang tua siswa, para ahli, dan orang-orang yang bekepentingan terhadap
pendidikan (stakeholders). Keputusan tentang bagaimana
keberlangsungan sekolah yang didasarkan atas partisipasi diharapkan
dapat menumbuhkan rasa memiliki bagi semua kelompok yang berkepentingan
di sekolah. Pelibatan kelompok yang berkepentingan di sekolah dalam
proses pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian,
yurisdiksi, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan (Aan
dan Cepi, 2004). Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Stoner mengenai delapan
macam tugas pemimpin, salah satunya adalah the manager makes difficult
decisions artinya seorang pemimpin sebagai pengambil keputusan selalu dihadapkan
pada berbagai macam pendapat tentang kebijaksanaan organisasi dan sebagainya
(Wahjosumidjo, 1987). Kondisi seperti ini menuntut adanya partisipasi
dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap sekolah untuk turut serta
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan tersebut.
Penyelenggaraan sekolah dari dimensi kepemimpinan
ini adalah terjadinya pemotivasian terhadap staf agar mereka terus
bersemangat bekerja dan menghasilkan karya yang berguna dan bermutu.
Diera global ini, dituntut keahlian yang harus terus dikembangkan
seiring dengan inovasi-inovasi yang ditemukan dalam bidang pendidikan.
Oleh karena itu kepala sekolah pun dituntut agar dapat melaksankaan
tugasnya sebagai agent of change yang selalu berupaya untuk terjadinya
difusi inovasi pada staf (Aan dan Cepi, 2004).
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan
diatas, dapat disimpulkan bahwa meskipun secara konsep pemimpin adalah jajaran
birokrasi tertinggi dari sebuah lembaga (pada pendidikan tinggi yaitu Rektor),
pada kenyataannya setiap pihak adalah pemimpin dan pengikut pada waktu
bersamaan, dan kedua belah pihak sama-sama memikul tanggung jawab untuk meningkatkan
efektivitas kepemimpinan, untuk bersama-sama mencapai visi dan misi yang telah
ditetapkan.
B. Peran dan Tantangan Pemimpin
Lembaga pendidikan merupakan tempat belajar yang
memberikan layanan pembelajaran yang bermutu melalui strategi
pembelajaran yang bervariasi, penilaian yang kontinyu dengan follow-up
yang cepat dan tepat, mendorong partisipasi siswa dalam
pembelajaran, serta memperhatikan kehadiran siswa, pelaksanaan
tugas-tugas siswa, dan keberlanjutan tugas-tugasnya. Lembaga bertanggung jawab
mengakomodasi kegiatan siswa agar siswa mau belajar.
Kinerja manajer (kepala sekolah/rektor) dipengaruhi
oleh faktor pembentuk perilaku dengan tingkat kompleksitas dan komposisi
tertentu. Pavlop Watson dan Skinner menegaskan adanya reciprocal
determination antara perilaku, potensi dalam diri, dan lingkungan.
Lingkungan yang diberikan treatment desentralisasi menuntut
adanya orang-orang yang cekatan, gesit, dan memiliki prakarsa mengembangkan
organisasi berupa visi (Aan dan Cepi, 2004).
Terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh
kepala sekolah/rektor sebagai pemimpin untuk meningkatkan kualitas
pendidikan disetiap jenjang mulai dari pendidikan dasar sampai
pendidikan tinggi. Tantangan tersebut antara lain: 1) persaingan antar
lembaga pendidikan yang sudah ada (rivalry among existing
institution), 2) ancaman dari lembaga pendidikan pendatang baru (threat
of new entrant), 3) ancaman dari lembaga pendidikan yang menawarkan
jasa pendidikan pengganti (threat of substitute education service),
4) kekuatan tawarmenawar pemasok atau masyarakat yang membutuhkan jasa
pendidikan (bargaining power of suppliers), 5) kekuatan
tawar-menawar pembeli (bargaining power of buyer).
C. Kompetensi Pemimpin
Setidaknya ada kesepakatan bahwa kepala sekolah
perlu memiliki sejumlah kompetensi berikut (diadaptasi dari CCSSO, 2002 dalam Dharma,
2003).
1.
Memfasilitasi
pengembangan, penyebarluasan, dan pelaksanaan visi pembelajaran yang
dikomunikasikan dengan baik dan didukung oleh komunitas sekolah. Kepala sekolah
memfasilitasi sekolah dalam mengembangkan visi dan misi sekolah, keterlibatan
semua pihak dalam penyusunan visi dan misi ini diperlukan agar dapat
dipertanggung jawabkan secara bersama-sama.
2.
Membantu,
membina, dan mempertahankan lingkungan sekolah dan program pengajaran yang
kondusif bagi proses belajar peserta didik dan pertumbuhan profesional para
guru dan staf. Kepala sekolah harus dapat memastikan adanya lingkungan sekolah
yang kondusif. Sekadar mengingatkan, lingkungan belajar yang kondusif memungkinkan
orang-orang di dalamnya untuk mendayagunakan dan mengembangkan potensinya
seoptimal mungkin. Kepala sekolah misalnya harus berupaya keras agar
masalah-masalah sosial, seperti penyalahgunaan narkoba, tidak mengimbas ke
dalam lingkungan sekolahnya. Dalam lingkungan seperti itu, para guru dan
peserta didik termotivasi untuk saling belajar, saling memotivasi, dan saling
memberdayakan. Suasana seperti memberi ruang untuk saling belajar melalui
keteladanan, belajar bertanggung jawab, serta belajar mengembangkan kompetensi
sepenuhnya.
3.
Menjamin
bahwa manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah digunakan
untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, sehat, efisien, dan efektif.
Kepala sekolah harus dapat memastikan bahwa apapun prinsip-prinsip dan teknik
manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah yang diterapkan
semata-mata digunakan bagi kepentingan peserta didik. Ia harus dapat menjamin bahwa
lingkungan fisik sekolahnya aman dan sehat bagi peserta didik, guru, dan staf
pendukung lainnya.
4.
Bekerja
sama dengan orang tua murid dan anggota masyarakat, menanggapi kepentingan dan
kebutuhan komunitas yang beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat.
Kepala sekolah harus menyadari bahwa tujuan sekolah tidak mungkin dicapai tanpa
melibatkan semua pihak yang berkepentingan, utamanya para orang tua murid.
Manajemen sekolah adalah upaya bersama agar hal-hal yang tadinya terasa besar
dan berat menjadi lebih terkendali. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Oleh
sebab itu, kepala sekolah harus tidak boleh putus harapan untuk menghimbau dan
merangkul semua pihak yang berkepentingan demi kemajuan sekolahnya.
5.
Memberi
contoh (teladan) tindakan berintegritas. Kepala sekolah pastilah berada dalam
posisi yang serba kikuk jika tidak menujukkan kualitas perilaku yang dapat
diteladani. Dapat dipercaya, konsisten, komit, bertanggung jawab, dan secara
emosional terkendali adalah kualitas yang seharusnya dimiliki para pimpinan.
Karakter moral seperti itulah sebenarnya yang memiliki dampak jangka panjang.
Kepala sekolah yang hanya mengandalkan kewenangan jabatannya untuk mempengaruhi
lingkungan, hanya akan menimba hasil jangka pendek.
6.
Memahami,
menanggapi, dan mempengaruhi lingkungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya
yang lebih luas. Kepala sekolah perlu menyadari bahwa kehidupan di sekolahnya
adalah bagian dari lingkungan kehidupanyang lebih luas. Kehidupan lain di luar
sekolahnya ikut berpengaruh dalam upayanya mengelola sekolah dengan baik.
Berpikir system membantunya untuk memahami posisi sekolahnya dalam gambaran
yang lebih besar. Sekolahnya sendiri adalah bagian dari subsistem sosial yang
terkait dengan sistem politik, ekonomi, dan lain-lainnya.
Pendidikan dewasa ini memerlukan pengelolaan yang
bermutu, baik dari perencana di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Kepala
sekolah sebagai pemegang fungsi kepemimpinan di sekolah harus memiliki
kemampuan penyesuaian diri dan kemampuan manajerial yang baik agar mampu
menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas di sekolahnya. Agar dapat menyesuaikan
diri dengan perubahan lingkungan, seorang pemimpin harus selalu mengupdate
informasi yang relevan dengan pendidikan, baik itu kebijakan maupun
kecenderungan terhadap arah perubahan yang akan terjadi di masa yang akan
datang.
Dengan kemampuan update informasi ini, fungsi kepala
sekolah sebagai pengembang sumber daya manusia dan organisasi akan sangat
efektif, karena kebijakan pengembangan yang dilakukan oleh kepala sekolah akan
didasarkan pada kelemahan internal yang disesuaikan dengan perubahan kondisi
eksternal yang berpengaruh terhadap kondisi organisasi (sekolah).
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Aan K. dan Cepi T. (2006). Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Wahjosumidjo. (1994). Kepemimpinan
dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tilaar, HAR. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Timpe, A.Dale. 2002. Seri Manajemen Sumber Daya
Manusia ”Kepemimpinan”. Jakarta:
PT Elex Media Komputerindo Gramedia.
Robbins, S.P. 2002. Prinsip-prinsip
Perilaku Organisasi. Jakarta: Erlangga.
Internet:
Dharma, Agus. (2003). Standar Kompetensi Kepala Sekolah. [Online].
Tersedia:
www.pendidikan.net [3
Desember 2013]