Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Pages

Selasa, 23 Maret 2021

Kepemimpinan dalam Pendidikan

 

Suatu masyarakat yang demokratis tentunya memerlukan berbagai praksis pendidikan menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang tertutp, yang sentralistik, yang mematikan inisiatif berfikir manusia bukanlah merupakan pendidikan yang kita inginkan (Tilaar, 2000). Pada dasarnya paradigma pendidikan nasional yang baru harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global. Paradigma tersebut haruslah mengarah kepada lahirnya suatu bangsa Indonesi yang bersatu serta demokratis. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik baik di dalam manajemen maupun di dalam penyusunan kurikulum harus diubah dan disesuaikan kepada tuntutan pendidikan yang demokratis, demikian pula di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatis, maka proses pendidikan haruslah mampu mengembangkan kemampuan untuk berkompetisi di dalam kerjasama, mengembangkan sikap inovatif dan ingin selalu meningkatkan kualitas (Tilaar, 2000).

Perubahan paradigma pendidikan yang terjadi saat ini adalah merupakan akibat dari terjadinya perubahan sosial sebagaimana sifatnya yang abadi, akan selalu terjadi dan pasti terjadi. Perubahan itu akan memberikan pengaruh yang kuta terhadap iklim organisasi, gaya kepemimpinan dan hakikat kehidupan organisasi (Benis, 1966 dalam Aan dan Cepi, 2004).

Salah satu perubahan yang mendasar dalam organisasi pendidikan adalah sistem manajemen sentralistis yang berubah menjadi sistem manajemen desentralisasi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini menuntut perubahan berbagai komponen dalam organisasi dan juga gaya kepemimpinan. Artinya, dalam situasi yang tidak menentu, penuh dengan perubahan dan ketidakpastian diperlukan keahlian manajerial yang baik, sekaligus dapat mengembangkan keahliannya dalam bidang kepemimpinan (Aan dan Cepi, 2004).

Untuk mengahadapi beragam tantangan kepemimpinan yang muncul, maka harus dipahami terlebih dahulu mengenai konsep pemimpin dan kepemimpinan, peran dan tantangan seorang pemimpin, serta kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh pemimpin masa kini. Sehingga kedepannya, pemimpin-pemimpin lembaga yang berada dalam dunia pendidikan, dapat menghadapi tantangan dan meningkatkan kualitas pendidikan pada lembaga yang dipimpinnya.

 

A.      Pemimpin dan Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah proses dua pihak, dua arah artinya, satu pihak harus mengetahui cara memimpin, dan pihak lain harus mengetahui cara mengikuti. Tetapi dalam pelaksanaannya, tidak ada hal-hal seperti pemimpin “murni” dan pengikut “murni”. Setiap pihak adalah pemimpin dan pengikut pada waktu bersamaan, dan kedua belah pihak memikul tanggung jawab untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan (Timpe, 2002).Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk pencapaian tujuan. Bentuk pengaruh tersebut dapat secara formal seperti tingkat manajerial pada suatu organisasi (Robins, 2002).

Menurut sejarahnya, istilah kepemimpinan (leadership) baru muncul sekitar tahun 1800, definisi leadership bermacam-macam sesuai dengan selera pembuat definisi itu sendiri, dari mana mereka memandang. Meskipun demikian, masih dapat ditarik suatu garis yang sama dari definisi-definisi yang dibuat.

Berbagai sudut pandang para pembuat definisi kepemimpinan itu adalah sebagai berikut: 1) titik tumpu proses kelompok, 2) kepribadian dan pengaruh, 3) seni dalam melaksanakan pekerjaan, 4) tindakan mempengaruhi orang lain, 5) perbuatan atau sikap seseorang, 6) bentuk persuasi dalam menggerakkan orang, 7) alat pencapaian tujuan, 8) pengaruh daripada interaksi, 9) peranan yang menonjol, 10) proses dari peranan yang orisinil (Martoyo, 1996). Dari penjelasan di atas, Martoyo mendefinisikan kepemimpinan sebagai berikut: ”keseluruhan aktivitas dalam rangka mempengaruhi orang-orang agar mau bekerja sama untuk mencapai tujuan yang memang diinginkan bersama”.

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk pencapaian tujuan. Bentuk pengaruh tersebut dapat secara formal seperti tingkat manajerial pada suatu organisasi (Robins, 2002). Definisi kepemimpinan seperti diungkapkan di atas, berimplikasi pada tiga hal utama seperti dikemukakan di bawah ini (Locke, 1997):

a.       Kepemimpinan menyangkut “orang lain”, bawahan atau pengikut.

Kesediaan mereka untuk menerima pengarahan dari pemimpin. Jika tidak ada pengikut, maka tidak akan ada pula pemimpin. Tanpa bawahan semua kualitas kepemimpinan seorang atasan akan menjadi tidak relevan. Terkandung makna bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan menjalin relasi dengan pengikut mereka.

b.      Kepemimpinan merupakan suatu ”proses”.

Agar bisa memimpin, seorang pemimpin harus melakukan sesuatu, kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu posisi otoritas. Kendatipun posisi otoritas yang dikonformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, tetapi sekadar menduduki posisi itu tidak memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin.

c.       Kepemimpinan harus ”membujuk” orang lain untuk mengambil tindakan.

Pemimpin membujuk para pengikutnya lewat berbagai cara seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi organisasi dan mengkomunikasikan sebuah visi.

Proses sekolah dalam dimensi kepemimpinan adalah menghasilkan keputusan kelembagaan yang terjadi sebagai keputusan partisipatif atau keputusan bersama antara kepala sekolah, guru, siswa, orang tua siswa, para ahli, dan orang-orang yang bekepentingan terhadap pendidikan (stakeholders). Keputusan tentang bagaimana keberlangsungan sekolah yang didasarkan atas partisipasi diharapkan dapat menumbuhkan rasa memiliki bagi semua kelompok yang berkepentingan di sekolah. Pelibatan kelompok yang berkepentingan di sekolah dalam proses pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan (Aan dan Cepi, 2004). Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Stoner mengenai delapan macam tugas pemimpin, salah satunya adalah the manager makes difficult decisions artinya seorang pemimpin sebagai pengambil keputusan selalu dihadapkan pada berbagai macam pendapat tentang kebijaksanaan organisasi dan sebagainya (Wahjosumidjo, 1987). Kondisi seperti ini menuntut adanya partisipasi dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap sekolah untuk turut serta berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan tersebut.

Penyelenggaraan sekolah dari dimensi kepemimpinan ini adalah terjadinya pemotivasian terhadap staf agar mereka terus bersemangat bekerja dan menghasilkan karya yang berguna dan bermutu. Diera global ini, dituntut keahlian yang harus terus dikembangkan seiring dengan inovasi-inovasi yang ditemukan dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu kepala sekolah pun dituntut agar dapat melaksankaan tugasnya sebagai agent of change yang selalu berupaya untuk terjadinya difusi inovasi pada staf (Aan dan Cepi, 2004).

Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa meskipun secara konsep pemimpin adalah jajaran birokrasi tertinggi dari sebuah lembaga (pada pendidikan tinggi yaitu Rektor), pada kenyataannya setiap pihak adalah pemimpin dan pengikut pada waktu bersamaan, dan kedua belah pihak sama-sama memikul tanggung jawab untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan, untuk bersama-sama mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan.

 

B.       Peran dan Tantangan Pemimpin

Lembaga pendidikan merupakan tempat belajar yang memberikan layanan pembelajaran yang bermutu melalui strategi pembelajaran yang bervariasi, penilaian yang kontinyu dengan follow-up yang cepat dan tepat, mendorong partisipasi siswa dalam pembelajaran, serta memperhatikan kehadiran siswa, pelaksanaan tugas-tugas siswa, dan keberlanjutan tugas-tugasnya. Lembaga bertanggung jawab mengakomodasi kegiatan siswa agar siswa mau belajar.

Kinerja manajer (kepala sekolah/rektor) dipengaruhi oleh faktor pembentuk perilaku dengan tingkat kompleksitas dan komposisi tertentu. Pavlop Watson dan Skinner menegaskan adanya reciprocal determination antara perilaku, potensi dalam diri, dan lingkungan. Lingkungan yang diberikan treatment desentralisasi menuntut adanya orang-orang yang cekatan, gesit, dan memiliki prakarsa mengembangkan organisasi berupa visi (Aan dan Cepi, 2004).

Terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh kepala sekolah/rektor sebagai pemimpin untuk meningkatkan kualitas pendidikan disetiap jenjang mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Tantangan tersebut antara lain: 1) persaingan antar lembaga pendidikan yang sudah ada (rivalry among existing institution), 2) ancaman dari lembaga pendidikan pendatang baru (threat of new entrant), 3) ancaman dari lembaga pendidikan yang menawarkan jasa pendidikan pengganti (threat of substitute education service), 4) kekuatan tawarmenawar pemasok atau masyarakat yang membutuhkan jasa pendidikan (bargaining power of suppliers), 5) kekuatan tawar-menawar pembeli (bargaining power of buyer).

 

C.      Kompetensi Pemimpin

Setidaknya ada kesepakatan bahwa kepala sekolah perlu memiliki sejumlah kompetensi berikut (diadaptasi dari CCSSO, 2002 dalam Dharma, 2003).

1.        Memfasilitasi pengembangan, penyebarluasan, dan pelaksanaan visi pembelajaran yang dikomunikasikan dengan baik dan didukung oleh komunitas sekolah. Kepala sekolah memfasilitasi sekolah dalam mengembangkan visi dan misi sekolah, keterlibatan semua pihak dalam penyusunan visi dan misi ini diperlukan agar dapat dipertanggung jawabkan secara bersama-sama.

2.        Membantu, membina, dan mempertahankan lingkungan sekolah dan program pengajaran yang kondusif bagi proses belajar peserta didik dan pertumbuhan profesional para guru dan staf. Kepala sekolah harus dapat memastikan adanya lingkungan sekolah yang kondusif. Sekadar mengingatkan, lingkungan belajar yang kondusif memungkinkan orang-orang di dalamnya untuk mendayagunakan dan mengembangkan potensinya seoptimal mungkin. Kepala sekolah misalnya harus berupaya keras agar masalah-masalah sosial, seperti penyalahgunaan narkoba, tidak mengimbas ke dalam lingkungan sekolahnya. Dalam lingkungan seperti itu, para guru dan peserta didik termotivasi untuk saling belajar, saling memotivasi, dan saling memberdayakan. Suasana seperti memberi ruang untuk saling belajar melalui keteladanan, belajar bertanggung jawab, serta belajar mengembangkan kompetensi sepenuhnya.

3.        Menjamin bahwa manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah digunakan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, sehat, efisien, dan efektif. Kepala sekolah harus dapat memastikan bahwa apapun prinsip-prinsip dan teknik manajemen organisasi dan pengoperasian sumber daya sekolah yang diterapkan semata-mata digunakan bagi kepentingan peserta didik. Ia harus dapat menjamin bahwa lingkungan fisik sekolahnya aman dan sehat bagi peserta didik, guru, dan staf pendukung lainnya.

4.        Bekerja sama dengan orang tua murid dan anggota masyarakat, menanggapi kepentingan dan kebutuhan komunitas yang beragam, dan memobilisasi sumber daya masyarakat. Kepala sekolah harus menyadari bahwa tujuan sekolah tidak mungkin dicapai tanpa melibatkan semua pihak yang berkepentingan, utamanya para orang tua murid. Manajemen sekolah adalah upaya bersama agar hal-hal yang tadinya terasa besar dan berat menjadi lebih terkendali. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Oleh sebab itu, kepala sekolah harus tidak boleh putus harapan untuk menghimbau dan merangkul semua pihak yang berkepentingan demi kemajuan sekolahnya.

5.        Memberi contoh (teladan) tindakan berintegritas. Kepala sekolah pastilah berada dalam posisi yang serba kikuk jika tidak menujukkan kualitas perilaku yang dapat diteladani. Dapat dipercaya, konsisten, komit, bertanggung jawab, dan secara emosional terkendali adalah kualitas yang seharusnya dimiliki para pimpinan. Karakter moral seperti itulah sebenarnya yang memiliki dampak jangka panjang. Kepala sekolah yang hanya mengandalkan kewenangan jabatannya untuk mempengaruhi lingkungan, hanya akan menimba hasil jangka pendek.

6.        Memahami, menanggapi, dan mempengaruhi lingkungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang lebih luas. Kepala sekolah perlu menyadari bahwa kehidupan di sekolahnya adalah bagian dari lingkungan kehidupanyang lebih luas. Kehidupan lain di luar sekolahnya ikut berpengaruh dalam upayanya mengelola sekolah dengan baik. Berpikir system membantunya untuk memahami posisi sekolahnya dalam gambaran yang lebih besar. Sekolahnya sendiri adalah bagian dari subsistem sosial yang terkait dengan sistem politik, ekonomi, dan lain-lainnya.

Pendidikan dewasa ini memerlukan pengelolaan yang bermutu, baik dari perencana di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Kepala sekolah sebagai pemegang fungsi kepemimpinan di sekolah harus memiliki kemampuan penyesuaian diri dan kemampuan manajerial yang baik agar mampu menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas di sekolahnya. Agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, seorang pemimpin harus selalu mengupdate informasi yang relevan dengan pendidikan, baik itu kebijakan maupun kecenderungan terhadap arah perubahan yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Dengan kemampuan update informasi ini, fungsi kepala sekolah sebagai pengembang sumber daya manusia dan organisasi akan sangat efektif, karena kebijakan pengembangan yang dilakukan oleh kepala sekolah akan didasarkan pada kelemahan internal yang disesuaikan dengan perubahan kondisi eksternal yang berpengaruh terhadap kondisi organisasi (sekolah).

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Buku:

Aan K. dan Cepi T. (2006). Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Wahjosumidjo. (1994). Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Tilaar, HAR. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Timpe, A.Dale. 2002. Seri Manajemen Sumber Daya Manusia ”Kepemimpinan”. Jakarta: PT Elex Media Komputerindo Gramedia.

Robbins, S.P. 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Jakarta: Erlangga.

 

Internet:

Dharma, Agus. (2003). Standar Kompetensi Kepala Sekolah. [Online].

          Tersedia: www.pendidikan.net [3 Desember 2013]

Keseteraan dalam Pendidikan

 

A.      Pengertian Gender

Sejak lima belas tahun terakhir ini, kata gender telah ramai memasuki perbendaharaan kata dalam tiap diskusi ilmiah dan atau tulisan-tulisan dalam penelitian para akademisi. Dalam Narwoko (2004) gender merupakan perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Gender merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok atribut dan perilaku secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan. Gender ini merupakan suatu konstruksi dari masyarakat yang secara sosial, sikap dan perilaku menganggap bahwa antara perempuan dan laki-laki itu berbeda.

Gender merupakan konsep hubungan sosial yang membedakan fungsi dan peran antara perempuan dan lak-laki. Perbedaan fungsi dan peran ini tidak ditentukan karena perbedaan biologis atau kodrat antara laki-laki dan perempuan, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai kehidupan dan pembangunan. Seperti yang telah dinyatakan oleh Mansour Fakih (2007) konsep gender yang lain yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya saja, perempuan dikenal lemah lembut, emosional, keibuan, sedangkan laki-laki dianggap kuat, irasional, jantan. Padahal sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan. Dengan demikian gender sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran manusia atau rekayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat sehingga bersifat dinamis dapat berbeda karena perbedaan adat istiadat, budaya, agama, sistem nilai dari bangsa, masyarakat, dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender dapat berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi, sosial dam budaya, atau karena kemajuan pembangunan. Dengan demikian gender tidak bersifat universal dan tidak berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya.

 

B.       Problematika Gender dalam  Pendidikan

Rendahnya  kualitas  pendidikan  diakibatkan  oleh  adanya  perbedaan  gender dalam  dunia  pendidikan. Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan yang dikemukakan Muawanah (2009:54) yaitu sebagai berikut.

1.      Akses

Aspek akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya, banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.

2.      Partisipasi

Aspek partisipasi dimana tercakup di dalamnya faktor bidang studi dan statistik pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah.

3.      Manfaat dan penguasaan

Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan..Data BPS tahun 2003, menunjukkan dari jumlah penduduk buta aksara usia 10tahun ke atas sebanyak 15.686.161 orang, 10.643.823 orang di antaranya atau 67,85persen adalah perempuan

 

Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”nara sumber” bagi segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan dengan isu gender (Muthia’in, 2001). Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.

Perilaku yang tampak dalam kehidupan dalam kehidupan sekolah interaksi guru-guru, guru-murid, dan murid-murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran berlangsung maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam proses pembelajaran di sekolah.

Menurut Idris (2004), semakin rendah tingkat pendidikan semakin besar kesenjangan gender dalam pengupahan. Bahkan dari angka statistik menunjukkan perbandingan upah laki-laki adalah 60,46% dan 39,54%, dimana kesenjangan gender dalam pengupahan untuk pendiidkan rendah 65, 68% untuk laki-laki dan 35, 32 % untuk perempuan.

 

 

 

C.      Kesetaraan Pendidikan di Indonesia

Dalam ‘Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia’, tercantum bahwa tujuan yang ke-3 adalah mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dengan target ke-4 yaitu menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada 2005 dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015.  Adapun indikator untuk mencapai tujuan tersebut yaitu sebagai berikut.

1.    Rasio anak perempuan tehadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan, dan tinggi, yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki.

2.    Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15–24 tahun, yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas melek huruf gender).

3.    Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor pertanian.

4.    Proporsi kursi DPR yang diduduki perempuan.

Diungkapkan dalam laporan tersebut, Indonesia telah mencapai kemajuan dalam meningkatkan kesetaraan dan keadilan pendidikan bagi penduduk laki-laki dan perempuan. Hal itu dapat dibuktikan antara lain dengan semakin membaiknya rasio partisipasi pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk perempuan terhadap penduduk laki-laki, kontribusi perempuan dalam sektor non-pertanian, serta partisipasi perempuan di bidang politik dan legislatif. Untuk mengukur kesenjangan partisipasi pendidikan antara penduduk perempuan dan penduduk laki-laki digunakan rasio Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK). Indikator itu diperlukan karena adanya perbedaan yang relatif besar antara jumlah penduduk perempuan dan penduduk laki-laki sehingga rasio jumlah siswa saja belum dapat menggambarkan kesetaraan dan keadilan gender. APK juga digunakan mengingat masih tingginya siswa berusia lebih tua dari kelompok usia yang semestinya (overage) sehingga APM baik di tingkat SD/MI, SLTP/MTs maupun SLTA jauh lebih rendah dibandingkan APK.

 

Gambar 3.1 Rasio APM perempuan terhadap laki-laki

pada setiap jenjang pendidikan.



Sumber: Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, 2013

 

Akses ke pendidikan pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI dan SLTP/MTs) rasio APM-nya telah mencapai angka 100 persen. Pada jenjang SLTA rasio APM selama sepuluh tahun terakhir berkisar antara 95 dan 100,4 dan nilai pada 2002 adalah 97,1. Secara keseluruhan, Indonesia telah mencapai kemajuan yang berarti dalam mencapai kesetaraan gender di bidang pendidikan (Gambar 3.1).

Pada pendidikan dasar dan lanjutan. Terdapat kesetaraan gender di tingkat sekolah dasar, namun rasio di sekolah lanjutan pertama cenderung lebih dari 100 persen. Hal ini menunjukkan proporsi perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki (Gambar 3.2). Diperlukan analisis lebih lanjut mengapa partisipasi penduduk laki laki relatif lebih rendah dibandingkan perempuan.

 

Gambar 3.2 Rasio APM perempuan terhadap laki-laki

pada setiap jenjang pendidikan menurut desa/kota 1995-2002.



Sumber: Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, 2013.

 

Pada sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi. Faktor yang menghambat akses perempuan ke sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi di antaranya akses yang masih terbatas. Jumlah sekolah yang terbatas dan jarak tempuh yang jauh diduga lebih membatasi anak perempuan untuk bersekolah dibandingkan lakilaki. Perkawinan dini juga diduga menjadi sebab mengapa perempuan tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Di tingkat perguruan tinggi, rasio angka partisipasi perempuan terhadap lakilaki meningkat dari 85,1 persen pada 1992 menjadi 92,8 persen pada 2002 (Tabel 3.1). Namun terjadi penurunan pada 1997 dan 1998 yang mungkin berhubungan dengan krisis ekonomi yang menurunkan kemampuan keluarga untuk membiayai pendidikan.

Gejala pemisahan gender (gender segregation) dalam jurusan atau program studi sebagai salah satu bentuk diskriminasi gender secara sukarela (voluntary discrimination) ke dalam bidang keahlian masih banyak ditemukan. Pemilihan jurusan-jurusan bagi anak perempuan lebih dikaitkan dengan fungsi domestik, sementara itu anak laki-laki diharapkan berperan dalam menopang ekonomi keluarga sehingga harus lebih banysak memilih keahlian-keahlian ilmu keras, teknologi dan industri. Penjurusan pada pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan tinggi menunjukkan masih terdapat stereotipi dalam sistem pendidikan di Indonesia yang mengakibatkan tidak berkembangnya pola persaingan sehat menurut gender. Sebagai contoh, bidang ilmu sosial pada umumnya didominasi siswa perempuan, sementara bidang ilmu teknis umumnya didominasi siswa laki-laki. Pada tahun ajaran 2000/2001, persentase siswa perempuan yang bersekolah di SMK program studi teknologi industri baru mencapai 18,5 persen, program studi pertanian dan kehutanan 29,7 persen, sementara untuk bidang studi bisnis dan manajemen 64,6 persen.

Gambar 3.3 APM menurut kuantil kemiskinan dan jenis kelamin, 2002.



Sumber: Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, 2013.

 

Gambar 3.4 APK menurut kuantil kemiskinan dan jenis kelamin, 2002.



Sumber: Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia, 2013.

 

Hipotesis bahwa semakin rendah tingkat pengeluaran keluarga semakin rendah pula rasio partisipasi penduduk perempuan terhadap laki-laki tidak tampak pada jenjang SD/MI dan SLTP/MTs. Susenas 2002 mengungkapkan bahwa APM penduduk perempuan pada kelompok miskin (kuantil 1 atau 20 persen terbawah dari tingkat pengeluaran keluarga) sama atau sedikit lebih tinggi dibanding penduduk laki-laki (Gambar 3.3). Hal itu diduga karena faktor kemiskinan menyebabkan anak lakilaki secara budaya harus bekerja dibandingkan anak perempuan. Kondisi itu berbeda pada kelompok 20 persen terkaya (kuantil 5) dengan angka partisipasi penduduk laki-laki lebih tinggi dibanding penduduk perempuan pada semua jenjang pendidikan. Analisis terhadap angka partisipasi kasar menunjukkan kecenderungan yang sama pula (Gambar 3.4). Namun apabila angka partisipasi pendidikan dibandingkan antara penduduk kaya dan penduduk miskin, dapat disimpulkan bahwa partisipasi penduduk miskin masih jauh tertinggal dibanding penduduk kaya terutama pada jenjang SLTP-MTs ke atas baik pada penduduk laki-laki maupun penduduk perempuan. Karena itu, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan partisipasi pendidikan penduduk laki-laki dan perempuan pada kelompok miskin.

 

D.      Tantangan dalam Kesetaraan Pendidikan di Indonesia.

Beberapa tantangan yang dihadapi dalam rangka menghapuskan kesenjangan gender dalam pendidikan antara lain adalah sebagai berikut.

1.    Bagaimana meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan sehingga masyarakat dapat menilai bahwa pendidikan dapat memberikan nilai tambah yang sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Hal itu diharapkan dapat meningkatkan motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak.

2.    Bagaimana menyediakan pelayanan pendidikan secara lebih luas dan beragam sehingga dapat diakses oleh semua anak Indonesia. Ketersediaan fasilitas pelayanan pendidikan yang lebih dekat dengan tempat tinggal anak diharapkan dapat mengurangi keengganan anak untuk bersekolah atau keberatan orang tua untuk menyekolahkan anak serta dapat menurunkan biaya yang harus dikeluarkan orang tua.

3.    Dapatkah kita melakukan revisi terhadap semua materi dan ilustrasi bahan ajar yang belum tanggap gender, yang diperlukan untuk menanamkan pengetahuan tentang kesetaraan dan keadilan gender pada anak sejak dini.

4.    Bagaimana Indonesia mampu menanggulangi kemiskinan sehingga setiap keluarga memiliki kemampuan keuangan yang lebih baik untuk menyekolahkan baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Selain itu, dengan tingkat ekonomi yang lebih baik anak-anak mereka dapat bersekolah tanpa harus bekerja.

5.    Bagaimana memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa anak baik anak laki-laki maupun perempuan berhak memperoleh pendidikan. Faktor sosial budaya masyarakat dan orang tua yang cenderung menggunakan tenaga anak perempuan untuk membantu urusan rumah tangga sering berakibat pada rendahnya kinerja akademik bahkan putus sekolah.

6.    Bagaimana meningkatkan pemahaman masyarakat bahwa pendidikan yang cukup tetap diperlukan bagi anak perempuan meskipun akhirnya mereka tidak bekerja di luar rumah dan bukan merupakan investasi yang sia-sia. Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi telah terbukti berpengaruh pada tingkat kesehatan anak, rendahnya angka kematian ibu dan angka kematian bayi.

7.    Bagaimana meningkatkan keamanan khususnya di daerah konflik sehingga anak baik lakilaki maupun perempuan dapat bersekolah dengan tenang.

8.    Bagaimana peraturan perundangan yang bias gender dapat direvisi. Meskipun Pasal 27 UUD 1945 menjamin kesamaan hak bagi seluruh warganegara di hadapan hukum, baik laki-laki maupun perempuan, masih banyak dijumpai materi dan budaya hukum yang diskriminatif terhadap perempuan dan tidak berkeadilan gender.

 

 

 

E.       Kebijakan dan Program untuk Mencapai Kesetaraan Pendidikan.

Dalam ‘Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia’,  dijelaskan mengenai kebijakan, strategi, sasaran, dan prioritas yang akan dilaksanakan berkaitan dengan kesetaraan pendidikan di Indonesia.

1.    Kebijakan.

Untuk mencapai target MDG, kebijakan yang diambil adalah mewujudkan persamaan akses pendidikan yang bermutu dan berwawasan gender bagi semua anak laki-laki dan perempuan; menurunkan tingkat buta huruf penduduk dewasa terutama penduduk perempuan melalui peningkatan kinerja pendidikan pada setiap jenjang pendidikan, baik melalui sekolah maupun luar sekolah, pendidikan kesetaraan dan pendidikan baca tulis fungsional bagi penduduk dewasa; dan meningkatkan kemampuan kelembagaan pendidikan dalam mengelola dan mempromosikan pendidikan yang berwawasan gender.

2.    Strategi.

Kebijakan itu dilaksanakan melalui lima strategi utama, yaitu: penyediaan akses pendidikan yang bermutu, terutama pendidikan dasar secara merata bagi anak laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan luar sekolah; penyediaan akses pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah; peningkatan penyediaan pelayanan pendidikan baca tulis untuk meningkatkan derajat melek huruf, terutama penduduk perempuan; peningkatan koordinasi, informasi, dan edukasi dalam rangka mengarusutamakan pendidikan berwawasan gender; dan pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai pendidikan berwawasan gender.

3.    Sasaran.

Sasaran kinerja pendidikan berwawasan gender yang ingin dicapai dalam akses pendidikan adalah (a) meningkatnya partisipasi pendidikan penduduk usia sekolah yang diikuti dengan semakin seimbangnya rasio siswa laki-laki dan perempuan untuk semua jenjang pendidikan; (b) meningkatkan partisipasi penduduk miskin laki-laki dan perempuan terutama yang tinggal di daerah pedesaan yang masih rendah sehingga menjadi setara dengan penduduk dari kelompok kaya, (c) dan meningkatkan derajat melek huruf penduduk baik laki-laki maupun perempuan dengan rasio yang semakin setara.

4.    Prioritas.

Kondisi kesetaraan gender dalam pendidikan yang beragam seperti diuraikan pada bagian sebelumnya memerlukan bentuk-bentuk intervensi yang bervariasi sehingga berbagai program yang dilaksanakan benar-benar dapat menurunkan kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Untuk jenjang sekolah dasar atau kelompok penduduk usia 7–12 tahun, dengan rasio siswa lakilaki dan perempuan yang sudah baik, penentuan prioritas perlu mempertimbangkan keragaman antar wilayah atau provinsi dan kelompok pendapatan. Pada jenjang SLTP/MTs atau kelompok usia 13–15 tahun diketahui bahwa partisipasinya masih cukup rendah. Karena itu, upaya peningkatan partisipasi harus diupayakan baik pada penduduk laki-laki dan perempuan. Namun dengan diketahuinya partisipasi pendidikan penduduk laki-laki kelompok 40 persen termiskin lebih rendah dibandingkan penduduk perempuan, upaya yang lebih intensif untuk meningkatkan partisipasi kelompok itu sangat diperlukan. Dengan asumsi bahwa partisipasi pendidikan yang lebih rendah itu salah satunya karena bekerja, upaya untuk mengembalikan mereka ke sekolah menjadi sangat penting. Untuk meningkatkan pendidikan baca tulis, sangat jelas bahwa tingkat melek huruf penduduk perempuan masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan penduduk laki-laki baik di pedesaan maupun di perkotaan, di setiap kelompok usia penduduk dewasa, dan di setiap kelompok pengeluaran keluarga. Namun prioritas utama diberikan pada upaya peningkatan kemampuan baca tulis penduduk perempuan yang miskin, yang tinggal di daerah perdesaan dan berusia lebih dari 25 tahun karena kelompok inilah yang memiliki tingkat melek huruf paling rendah yang diikuti oleh penduduk laki-laki kelompok usia yang sama, yang miskin dan tinggal di perdesaan.

Seluruh upaya untuk meningkatkan partisipasi pendidikan dan tingkat melek huruf penduduk tersebut di atas didukung dengan upaya peningkatan kemampuan kelembagaan pendidikan sehingga memiliki kemampuan dalam merencanakan pendidikan yang tanggap gender, disamping meningkatkan pemahaman semua pihak mengenai pentingnya pendidikan baik untuk laki-laki maupun perempuan.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Buku:

Acee Suryadi, Aceep Idris. (2004). Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: PT Genesindo

Achmad Muthia’in. (2001). Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: UMS.

Dwi Narwoko dan Bagong Yuryanto. (2004). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Elfi Muawanah. (2009). Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: TERAS

Fakih, Mansour. (2005). Analisis Gender dan Transformasi Sosial.

          Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kamanto Sunarto. (2004). Pengantar Sosiologi Edisi Revisi. Universitas Indonesia  Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi.

 

Internet:

Tim Indonesia MDG. (2013). Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. [Online].  Tersedia: www.undp.or.id [29 Desember 2013]